Banyak Wisman Nakal di Bali, Waktunya Lebih Selektif Memilih Tamu?
Wisman nakal dan melanggar peraturan keimigrasian kembali marak di Bali. Kembali muncul wacana pentingnya seleksi bagi wisatawan yang masuk ke Bali.

Harapan kebangkitan pariwisata Bali di 2023 menghadapi persoalan laten yang kerap terjadi.
Wisatawan mancanegara (wisman) nakal dan melanggar peraturan keimigrasian kembali marak.
Keresahan masyarakat akan perilaku tidak sopan dan melanggar etika serta adat istiadat Bali telah direspons oleh Gubernur Provinsi Bali dan Kementerian Pariwisata.
Dewa Gde Satrya, dosen Bisnis Hotel dan Turisme, Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya memaparkan penegakan hukum dilakukan dengan memberi sanksi deportasi serta pencabutan visa on arrival bagi negara yang warganya kedapatan melanggar izin kunjungan di Bali.
Di tataran praktis, pecalang (polisi adat) memberi inspirasi dan keteladanan tentang cara berkomunikasi dengan wisatawan asing yang nakal.
Kesabaran dalam menyampaikan persuasi meskipun menghadapi sikap arogan wisman merupakan praktek keutamaan hidup berbicara dari hati.
Terkini: LRT dan KCJB Tetap Diluncurkan 18 Agustus, KAI dan Garuda Promo Tiket Selama Liburan Tampak arogansi wisatawan asing sebagai tamu terhadap warga lokal selaku tuan rumah dengan tidak mengindahkan peraturan lalu lintas, tidak menghargai ritual peribadatan yang dilakukan masyarakat, bertindak tidak pantas di tempat-tempat suci, hingga menjalankan pekerjaan atas inisiatif sendiri yang melanggar ketentuan visa.
Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Organisasi Pariwisata Dunia, kerinduan umat manusia akan lalu lintas di muka bumi untuk kepentingan pariwisata merupakan sarana atau katalisator untuk membangun pemahaman dan meningkatkan kelayakan standar hidup.
Telah lama digagas pentingnya seleksi bagi wisatawan yang masuk ke Bali.
Namun secara teknis hal tersebut belum diatur dan dipikirkan secara detail.
Meski demikian, usaha untuk lebih selektif menerima tamu perlu dimulai.
Dasarnya adalah semakin dibutuhkan wisman yang berkualitas, tidak lagi mengejar jumlah kunjungan, tetapi tingkat pengeluaran dan lama tinggal.
Selektif terima wisatawanAsumsinya, saat ini dengan tingkat kunjungan yang ada, selanjutnya perlu dipertimbangkan potensi tingkat konsumsi dan perilaku yang tidak merugikan kehidupan sosial di destinasi yang dikunjungi.
Model wisata yang ditawarkan pun perlu semakin diprioritaskan pada segmentasi yang relevan dengan wisatawan yang berkualitas.
Garuda Indonesia Tawarkan Tiket Promo di SOTF, Jakarta – Laboan Bajo PP Rp 3,18 Juta Pertama, MICE (meeting, incentive, conference, exhibition).
Segmentasi pasar MICE hampir dipastikan memiliki daya beli yang bagus dan kecenderungan perilaku yang adaptif dengan norma sosial di dalam negeri.
Karena itu, segenap potensi yang dimiliki daerah dianjurkan untuk berbenah lebih serius untuk mendatangkan tamu dari segmentasi industri ini.
Ajang yang kerap mendatangkan wisatawan berkualitas misalnya budaya, olahraga, dan musik.
Lombok, misalnya.
Kehadiran Mandalika sebagai sirkuit MotoGP menarik minat kunjungan para pecinta olahraga tersebut.
Sport tourism menjadi ajang berkualitas yang diharapakan juga akan mampu menarik segmen wisatawan yang memiliki motivasi yang baik untuk berkunjung.
Bahkan, kabarnya potensi pasar internasional untuk olahraga itu diperkirakan tidak hanya disediakan akomodasi di Lombok, tetapi juga Bali.
Kedua, segmentasi ekowisata.
Jenis wisata yang menyelaraskan kelestarian alam dan budaya dengan kegiatan wisata berbasis masyarakat ini kurang tergarap dengan baik di Indonesia.
Padahal, Indonesia memiliki 50 Taman Nasional (TN) yang tersebar di berbagai pulau, di antaranya Bali dan Nusa Tenggara (6 TN), Jawa (12), Kalimantan (8), Maluku dan Papua (5), Sulawesi (8), dan Sumatera (11).
Enam di antara 50 TN tersebut diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia, di antaranya TN Komodo dan Ujung Kulon (diakui 1991), TN Lorentz (1999), TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan (2004).
Segmentasi ekowisata, meski memiliki karakter selektif dalam kunjungan, diproyeksikan memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi.
Contohnya, pengeluaran per wisman untuk mendaki gunung di Indonesia di atas Rp 100 juta dengan durasi waktu seminggu.
Turis ekowisata lebih serius dan niat dalam berwisata selain dipastikan mereka tidak akan mengganggu, apalagi merusak, tatanan nilai sosial budaya dan kelestarian alam.
Mereka juga tak segan mengeluarkan dana besar sebagai apresiasi terhadap lingkungan hidup di negara yang dikunjungi.
Prinsip dan praktek wisata bertanggung jawab sebagai bagian dari gelombang baru new tourism menjadi pemimpin pasar, yang menjadi salah satu pertimbangan penting ketika orang melancong ke suatu daerah atau negara, layak diterapkan di Bali.
Selain itu, berkah yang dimiliki bangsa Indonesia melalui TN yang eksoktik, unik, dan tiada duanya di dunia juga perlu dikelola untuk kepentingan pariwisata yang bertanggung jawab di satu sisi dan di sisi lain juga mengedepankan prinsip serta praktek konservasi di dalamnya.
Pilihan Editor: Turis Asing Langgar Izin Usaha Hingga Berkendara Ugal-ugalan, Bali Bentuk Satgas